Genre (dibaca zongre, jangan dibaca Jonru) itu mengkotak-kotakkan, supaya kita bisa melabel sesuatu berbeda dengan hal lainnya. Contohnya Jazz, entah apa definisi genre Jazz. Apakah Jazz itu gak nge-Jazz kalau gak pakai kunci miring, kunci "mahal", haram kalau pakai kunci Mayor dan perlu diulik jadi kunci MayorMinor7, Sus4, Diminished, dst. Lalu Dangdut, apakah harus menyanyi dengan cengkok meliuk-liuk a la India, dengan tabuhan gendang, atau mendesah, dst?
Begitu musik dikotak-kotakkan, penikmatnya menjadi penggemar loyal kotak tertentu dan bisa jadi pembenci kotak lainnya.
Anak komplek di Jakarta, misalnya, kalau ditawari pengamen nyanyi lagu Dangdut, kemungkinan besar akan mengernyit lalu meminta lagu dari genre lain atau segera memberi uang receh supaya gak "terganggu" oleh musik tsb.
Di sisi lain, orang Kristen ketika naik bis kota, kalau bertemu pengamen menyanyikan lagu rohani, bisa menyiapkan uang "persembahan" 5.000 atau 10.000, nilainya sebesar apa yang ia persembahkan di gereja. Bangga, ketika lagu rohani berkumandang di bis kota. Padahal bisa saja, perilaku itu sudah terbaca para pengamen, apa pun agamanya, untuk mempelajari lagu2 yang bisa menghasilkan uang lebih bagi mereka. Tentu saja ini gue ketahui di jaman2 masih naik bisa kota, sekitar 15-20 tahun lalu. Jaman pra-ojol, sebelum ada Gojek dan Grab dan segala merk lainnya.
Balik lagi ke pengkotakan genre. Kita merasa ada kotak-kotak yang tidak nyambung, setidaknya dalam pikiran saja karena memang belum ada yang mencoba menggabungkannya. Penggabungan genre yang berbeda itu biasa disebut fusion, yang diambil dari bahasa Inggris. Misalnya kita bisa lihat di salah satu resto yang melabel dirinya Japanese Fusion, maksudnya ya makanan Jepang tapi digabungkan dengan gaya lain, misal disajikan di daun pisang, yang Indonesia banget. Atau resto di Bintaro yang menggabungkan Pasta dengan bumbu khas Indonesia, sebutlah spaghetti kuah opor. Di musik, Pop dan Jazz bahkan jadi genre tersendiri seakan memisahkan diri dari Pop sendiri dan Jazz sendiri. Fariz RM sudah lama melakukannya. Bisa gak dangdut difusion dengan rock? Meski tidak melabel seperti itu, nyatanya dari tahun 70an Rhoma Irama sudah melakukannya dan jutaan orang Indonesia bergoyang nikmat mengikuti alunan lagu2 dan dakwahnya. Fusion lagu Jepang yg imut2 dengan Metal, sudah ada yang namanya BABYMETAL, coba aja cari di YouTube. Aneh buat sebagian, tapi ada saja yang mengapresiasinya.
Fusion bukan hal baru dan menghasilkan hal yang aneh, pada awalnya. Setelah terbiasa dan bahkan populer, ya biasa aja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar