"... Akibatnya, sekolah minggu dan katekisasi di setiap gereja dalam RUU tersebut memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 orang serta mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama tingkat kabupaten/kota."
Setidaknya akan muncul 3 masalah:
- Peserta didik paling sedikit 15 orang | Dasarnya apa? Kalau dalam keyakinan Kristen, cukup dua-tiga orang berkumpul dalam nama Yesus, maka Yesus hadir di sana. Pendidik 1 dan anak didik 1 orang, sudah 2 orang kan :)
Kalau di agama Islam ada kegiatan yang setara/serupa disyaratkan 15 orang, seharusnya untuk umat agama lain diberlakukan proporsional, sehingga umat Kristen Protestan yang hanya 6-7% tidak disamakan dengan umat Islam yang konon mencapai 90% populasi Indonesia. Dengan demikian mestinya syarat jumlah hanya 1 orang mengikuti katekisasi. - Izin dari Kanwil Kementerian Agama tingkat kabupaten/kota | Apakah semua Kanwil Kemenag tingkat kabupaten/kota ada perwakilan Binmas Kristen? Kalau tidak, masak izin kegiatan pendidikan agama kristen diberikan oleh umat non-kristen? Kalau iya, apakah orang tsb punya kompetensi mengecek pengajaran yang diberikan oleh gereja-gereja?
Hal lain mengenai perizinan, sejak jaman orde baru kita sudah tahu bahwa hal ini bisa menjadi celah korupsi. Tanpa uang pelicin izin akan sulit didapatkan, dst.
Bapak lagi rapat. Bapak lagi dinas ke luar. Itu alasan-alasan standard yang biasa kita dengar di kantor-kantor pemerintahan, ketika kita sedang mengurus perizinan atau bahkan sekadar tinggal meminta tanda tangan pejabat terkait. - Perizinan rumah ibadah | Ujung-ujungnya akan sampai ke hal ini, percaya deh sama saya. Bisa-bisa izin tidak akan dikeluarkan Kanwil Kemenag tingkat kab/kota karena gerejanya tidak punya izin resmi, yang mana menurut perkiraan saya pribadi, di atas 50% gereja di Indonesia itu bergumul dengan perizinan selama bertahun-tahun. Bukannya kami tidak mau mengurus perizinan gereja, tapi syaratnya itu lho memberatkan, lalu di sisi lain GKI Bapos Yasmin Bogor yang sudah mengantongi perizinan saja tetap tidak bisa beribadah di gedungnya karena ada penolakan dari unsur masyarakat.
Tertulis sebagai berikut: "DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai usul inisiatif DPR RI dan segera menjadi pembahasan dalam proses legislasi nasional." Yang perlu dicari tahu adalah siapa pencetusnya, apakah dicetuskan oleh anggota DPR yang kristen atau non-kristen. Jika dicetuskan oleh non-kristen, perlu mempertimbangkan prinsip "untukku agamaku, untukmu agamamu", bukan begitu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar