10 Oktober 2019

Cosplay di Gereja

Saya merasa resah dengan ajakan untuk berpakaian tertentu saat menghadiri kebaktian tertentu. Ini mungkin tidak dialami oleh semua aliran Kristen. Mungkin ini hanya gerejaku saja. Ya buat kalian yang tidak atau belum mengalami, silakan dibaca untuk referensi di masa depan.

Sebetulnya sudah bertahun-tahun di GKI Bintaro Utama mengadakan kebaktian Bulan Budaya, dan setahuku banyak GKI yang juga melakukannya. Selama sebulan itu (4x hari Minggu), semua petugas kebaktian (eh maaf, maksudnya pelayan kebaktian, biar keliatan lebih rohani) menggunakan baju tradisional adat tertentu. Misalnya minggu pertama adat Betawi (Jakarta), lalu minggu kedua adat Jawa, lalu minggu ketiga adat Papua, lalu minggu keempat adat Minangkabau. Tidak sekadar pakaian para pelayan kebaktian saja, tapi ada tari-tarian adat mendahului prosesi umat masuk yang diwakili Pendeta dan Penatua. Selain itu, ada juga makanan khas daerah yang dirayakan tersebut dijual di halaman gereja, bisa dibeli sesudah kebaktian. Gereja mencari dana, sekalian yang jualan mencari duit *sigh..
Yang saya perhatikan berbeda adalah:
- Ada lagu dalam bahasa daerah yang dinyanyikan. Sayang tidak ada terjemahan bebasnya sehingga jemaat sekadar menyanyi dalam bahasa daerah tanpa mengerti makna dari lirik lagu tersebut.
- Hal yang lain lagi adalah posisi duduk PNJ (Pemandu Nyanyian Jemaat) atau tim Singers yang tadinya duduk menyamping, kini berani duduk di depan pemusik, menghadap jemaat.
- Pernah suatu kali kasih masukan ke Pendeta, "Kita pakai bermacam pakaian adat, tapi kok tidak disebut di Doa Syafaat? Bagaimana kalau sekalian mendoakan daerah tersebut." Usul itu disambut baik dan diterima. Syukurlah, puji Tuhan. Rasanya usulan ini cukup pantas, mengingat yang diberi nuansa adat ini adalah sebuah kebaktian bukan pesta atau perayaan lain jadi sebaiknya nuansa adat terhubung dengan tata ibadah (liturgi) secara menyeluruh.

Bulan Oktober dirayakan sebagai Bulan Keluarga. Minggu besok GKI Bintaro Utama akan merayakan ulang tahun dengan dresscode "Belagak Jadoel" dimana panitia mengharapkan jemaat datang kebaktian dengan kebaya bunga-bunga (wanita) atau kaos putih dengan celana batik (pria). Di rangkaian Bulan Keluarga ada program Sebeseg (sejam bebas gadget) yang menurut saya niatnya bagus karena mendorong keluarga untuk tidak terfokus ke gadget masing-masing dan mulai berkomunikasi. Kelihatannya program inilah yang mendorong adanya dresscode Belagak Jadoel tersebut. Ok, masuk akal. Tanpa gadget, seperti dulu juga belum ada gadget, keluarga bisa ngobrol, senda gurau, dst.

Lanjut ya. Sekarang kita bahas tema dari Bulan Keluarga yaitu... duh, pakai bahasa latin, gak ingat saya. Dari Warta Jemaat ada penjelasan bahwa temanya berkisar mengenai “Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam” (Lukas 5:4). Di sini lah saya kesulitan menghubungkan tema "bertolak ke tempat yang lebih dalam" (yang bisa dimaknai bahwa umat Kristen harus berani, beriman, taat pada perintah Tuhan) dengan pakaian a la jadoel. Sempat berbincang dengan Ketua Panitia Pelaksana, ia pun tidak bisa menjelaskan hubungan tersebut. Saya harus tanya ke Ketua Sie. Acara, begitu katanya. Ya, nanti lah kalau sempat dan kalau niat. Bukannya apa, saya kuatir pertanyaan semacam itu akan membuat mereka tidak suka. Entah tidak suka ditanya, atau merasa saya ini kepo. Tapi saya masih penasaran bagaimana penjelasannya. Tak harus dari aspek teologisnya lah, cukup asal masuk akal saja, itu yang saya butuhkan. Buat apa bermain kostum (cosplay) dalam kebaktian? Bagaimana hal itu menguatkan pesan tema ibadah tersebut? Bagaimana iman jemaat dapat dibangun dengan bermain kostum tsb (baik di Bulan Budaya maupun Bulan Keluarga)?

Seandainya pun jemaat datang berpakaian a la jadoel, lalu apakah jemaat datang kebaktian tanpa gadget? Sampai saat ini tidak ada pesan atau himbauan seperti itu, jadi kemungkinan selama kebaktian jemaat tetap dapat buka sosmed atau cek WA. Oh maaf, terlalu tendensius. Jemaat tetap dapat membuka Warta Jemaat dan Liturgi Ibadah yang disediakan di web gkibintama.org melalui gadget mereka masing-masing. Begitu pula dengan sarana WiFi gratis tetap menyala di lingkungan gereja. Dan juga livestreaming tetap menyala untuk melayani jemaat yang tidak bisa datang secara fisik ke gereja karena berbagai hambatan, seperti kondisi kesehatan atau keluarga yang tidak mendukung imannya atau hal lainnya.

Dengan berpakaian a la jadoel, mungkin setelah ibadah mereka perlu ganti ke "kostum normal" untuk melanjutkan hidup: pergi ke mall, makan siang bareng, pergi arisan keluarga, dst. Saya yang tinggal tak jauh dari gereja sih mungkin tidak merasakan masalah ini, tapi bagi keluarga yang ke gereja dengan kendaraan mobil, akan perlu menyiapkan baju ganti di mobil, antri ganti baju di toilet gereja atau bahkan di mobil, sebelum melanjutkan kegiatan.

Sayangnya saya tidak bisa hadir dalam ibadah 13 Okt mendatang karena ada tugas kotbah di kebaktian remaja GKI Bintaro. Di satu sisi, merasa kebetulan karena saya tidak harus ikut-ikutan cosplay (bermain kostum) dalam kebaktian. Tapi di sisi lain, penasaran juga seberapa banyak jemaat (non-MJ dan pelayan lain) yang ikut cosplay. Oh iya, untung ada livestream jadi bisa lihat rekamannya di YouTube.

Dulu waktu aku remaja banyak orang mencibirku karena datang kebaktian pakai kaos oblong dan sendal jepit. Anak Pendeta kok kebaktian pakai sendal jepit? Gak pantes.. Sekarang kok malah didorong berpakaian jadoel dan bersendal jepit pula. Ah, pusing awak!


---
PS: Saya tidak mengkritik Panitia Bulan Keluarga secara keseluruhan maupun orang tertentu secara personal. Saya hanya mempertanyakan mengenai diadakannya bermain kostum (cosplay) dalam kebaktian di bulan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Abadikan Kenangan di Sekolah Melalui Fotografi

Kenangan adalah bagian integral dari perjalanan pendidikan kita. Dari berbagi tawa dengan teman-teman sekelas, sampai penyelesaian studi dan...