Tiyo dan Anna, kami menikah 4 Juli 2009. Sebelum menikah kami pernah minta izin untuk mandiri dengan cara ngontrak di tempat lain. Rumah satu petak pun jadi, kata kami.
Mama tidak menjawab. Air matanya tumpah. Singkat cerita, kami tidak dapat restu untuk ke luar rumah.
Istriku bersiap diri memasuki kehidupan di pondok mertua indah. Meski kami sudah mempersiapkan diri melalui kelas bina pra nikah sampai konseling, tapi rasanya tetap tak terbayangkan bagaimana sebagai istri ia harus menghadapi mertuanya: terus-terusan mengalah atau merebut kekuasaan rumah tangga dari sang ratu sepuh. Sementara saya sebagai anak laki-laki harus bersiap untuk selalu berada di sisi istri pilihanku, dan bukan berada di tengah-tengah antara istri dan orangtuaku. Membela orangtua dan mengabaikan istri, bukan pilihan bagiku.
Bulan-bulan pertama berjalan baik. Mama juga senang mendapatkan anak yaitu menantu perempuan, karena anak perempuannya sudah mandiri dari sejak ia lepas SMA, kuliah di kota lain, kemudian pergi bekerja ke pelosok negeri bahkan kini keliling dunia mengikuti jalan hidupnya bersama keluarganya.
Istriku belajar banyak dari Mama dan ia sangat mengasihi Mama. Kami bersepakat bahwa mertua adalah orangtua. Jadi tidak ada orangtuamu dan orangtuaku, kebetulan kami biasa memanggil dengan cara yang berbeda, jadi kami teruskan cara panggilan itu: Papa, Mama, dan Bapak, Ibu.
Enam bulan berlalu, Mama sakit demam. Jatuh sakit persis di hari ibu ini, sembilan tahun lalu. 22 Desember 2009. Mama diopname di RS dr. Suyoto, kemudian pindah ke ICU RS Medistra, hingga menghembuskan nafas terakhirnya di sana tanggal 15 Januari 2010.
Kasih istriku pada Mama yang kulihat paling nyata adalah ketika mengganti diaper Mama yang kotor dan bau. Aku melihat raut wajahnya tak ada rasa jijik sedikitpun. Juga ketika kami harus berhari-hari tidur beralaskan koran di depan ruang ICU RS Medistra, subuh kami bangun, numpang mandi di kantorku di Grogol dan kuantar ia ke tempat bus menuju BSD. Lepas maghrib, pulang kerja kami kembali ke RS di Tebet. Tak sekalipun ia mengeluh.
Istriku mengasihi Mama mertuanya, orang tua kami, dengan kasih yang nyata. Cinta kasih, bukan lagi kata sifat tapi kata kerja.
Selamat hari ibu, untuk istriku yang setia di saat susah maupun senang, di saat kekurangan dan berkecukupan, di saat sehat maupun sakit.
Mama tidak menjawab. Air matanya tumpah. Singkat cerita, kami tidak dapat restu untuk ke luar rumah.
Istriku bersiap diri memasuki kehidupan di pondok mertua indah. Meski kami sudah mempersiapkan diri melalui kelas bina pra nikah sampai konseling, tapi rasanya tetap tak terbayangkan bagaimana sebagai istri ia harus menghadapi mertuanya: terus-terusan mengalah atau merebut kekuasaan rumah tangga dari sang ratu sepuh. Sementara saya sebagai anak laki-laki harus bersiap untuk selalu berada di sisi istri pilihanku, dan bukan berada di tengah-tengah antara istri dan orangtuaku. Membela orangtua dan mengabaikan istri, bukan pilihan bagiku.
Bulan-bulan pertama berjalan baik. Mama juga senang mendapatkan anak yaitu menantu perempuan, karena anak perempuannya sudah mandiri dari sejak ia lepas SMA, kuliah di kota lain, kemudian pergi bekerja ke pelosok negeri bahkan kini keliling dunia mengikuti jalan hidupnya bersama keluarganya.
Istriku belajar banyak dari Mama dan ia sangat mengasihi Mama. Kami bersepakat bahwa mertua adalah orangtua. Jadi tidak ada orangtuamu dan orangtuaku, kebetulan kami biasa memanggil dengan cara yang berbeda, jadi kami teruskan cara panggilan itu: Papa, Mama, dan Bapak, Ibu.
Enam bulan berlalu, Mama sakit demam. Jatuh sakit persis di hari ibu ini, sembilan tahun lalu. 22 Desember 2009. Mama diopname di RS dr. Suyoto, kemudian pindah ke ICU RS Medistra, hingga menghembuskan nafas terakhirnya di sana tanggal 15 Januari 2010.
Kasih istriku pada Mama yang kulihat paling nyata adalah ketika mengganti diaper Mama yang kotor dan bau. Aku melihat raut wajahnya tak ada rasa jijik sedikitpun. Juga ketika kami harus berhari-hari tidur beralaskan koran di depan ruang ICU RS Medistra, subuh kami bangun, numpang mandi di kantorku di Grogol dan kuantar ia ke tempat bus menuju BSD. Lepas maghrib, pulang kerja kami kembali ke RS di Tebet. Tak sekalipun ia mengeluh.
Istriku mengasihi Mama mertuanya, orang tua kami, dengan kasih yang nyata. Cinta kasih, bukan lagi kata sifat tapi kata kerja.
Selamat hari ibu, untuk istriku yang setia di saat susah maupun senang, di saat kekurangan dan berkecukupan, di saat sehat maupun sakit.
Selamat hari ibu.
Cintaku melimpah untukmu.
Selalu.
Cintaku melimpah untukmu.
Selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar