14 Februari 2016

Abu-abu

Abu-abu adalah warna favoritku. Bagus dikombinasikan dengan warna-warna cerah seperti kuning, oranye, merah, cyan, magenta, fuschia, dst. Grey is the new black. Foto black and white pun sesungguhnya bukanlah hitam dan putih saja, justru di sana banyak variasi abu-abu atau shades of grey.
Sesungguhnya tak ada yang benar-benar hitam dan putih, kecuali mungkin beberapa hal si dalam sebuah doktrin atau prinsip-prinsip keagamaan. Sementara dalam prakteknya, dalam hidup keseharian selalu berada di shades of grey tersebut. Pilihan-pilihan hidup seperti karir, studi, kapan melakukan sesuatu, kemana mau pergi, dengan siapa kita beraktifitas, dst tidak ada yang yang mutlak pasti salah atau pasti benar.
Dalam hidup yang serba abu-abu ini, kita harus tahu mengenai putih (hal yang benar dan bahkan *Kebenaran sejati) dan hitam (salah secara logika wajar dan bahkan agama). Kedua hal ini dibutuhkan untuk kita tahu batasan-batasan ekstrim.
Sementara dalam memilih di gradasi abu-abu, bisa juga memilih grey 18% supaya warna netral, tidak terlalu kuning atau biru atau merah (ini dalam fotografi ya, hehe)

*) Dengan huruf besar karena dipersonifikasi melalui keilahian Tuhan Yesus

12 Februari 2016

Kliping tentang LGBT

In 1973, the American Psychiatric Association (APA) asked all members attending its convention to vote on whether they believed homosexuality to be a mental disorder. 5,854 psychiatrists voted to remove homosexuality from the DSM, and 3,810 to retain it.

The APA then compromised, removing homosexuality from the DSM but replacing it, in effect, with "sexual orientation disturbance" for people "in conflict with" their sexual orientation. Not until 1987 did homosexuality completely fall out of the DSM.
https://www.psychologytoday.com/blog/hide-and-seek/201509/when-homosexuality-stopped-being-mental-disorder

***

Some APA members, primarily psychoanalysts who continued to espouse pathologizing views of homosexuality, challenged the leadership of the APA by calling for a referendum of the entire APA membership. The decision to remove homosexuality was upheld by a 58% majority of voting APA members.

When the diagnosis of homosexuality was deleted in 1973, the APA did not initially embrace a normal variant model of homosexuality (Drescher 1998, Bayer 1987, Krajeski 1996). In recognition of the opposition, it made a compromise. The DSM-II diagnosis of Sexual Orientation Disturbance (SOD) replaced Homosexuality. Accordingly, individuals comfortable with their homosexuality were no longer considered mentally ill. Only those who were "in conflict with" their sexual orientation had a mental disorder (SOD). This compromise engendered continued controversy. Those opposing it pointed out there were no reported cases of unhappy heterosexual individuals seeking treatment to become homosexual. This problem was addressed in the 1980's DSM-III where SOD was replaced by ego-dystonic homosexuality (EDH).
http://www.aglp.org/gap/1_history/

***

Robert Spitzer, psikiater yang awalnya berhasil mengeluarkan diagnosis homosexual dari DSM, tapi juga kemudian melakukan penelitian untuk mengubah orientasi LGBT, namun karena serangan dari pihak LGBT, maka penelitiannya dianggap salah.

---------------

In May 2001, Robert Spitzer presented Can Some Gay Men and Lesbians Change Their Sexual Orientation? 200 Participants Reporting a Change from Homosexual to Heterosexual Orientation", a study of attempts to change homosexual orientation through ex-gay ministries and conversion therapy, at the American Psychiatric Association's convention in New Orleans. The study was partly a response to the APA's 2000 statement cautioning against clinical attempts at changing homosexuality, and was aimed at determining whether such attempts were ever successful rather than how likely it was that change would occur for any given individual. Spitzer wrote that some earlier studies provided evidence for the effectiveness of therapy in changing sexual orientation, but that all of them suffered from methodological problems.[5]

https://en.wikipedia.org/wiki/Conversion_therapy#Can_Some_Gay_Men_and_Lesbians_Change_Their_Sexual_Orientation.3F

***

Prof Dadang Hawari

----------------

Prof Dadang tidak setuju jika homoseks dinilai bukan penyakit dan tidak bisa (tidak perlu) disembuhkan seperti diklaim Asosiasi Psikiater Amerika (APA). Tapi diakuinya, terapi homoseks relatif sulit maka pencegahan dini adalah yang terpenting. Dan, jurus paling kuat untuk mencegah adalah pendidikan agama sejak dini.

Dia mengatakan, pendekatan agama juga telah dilirik dan dibutktikan oleh para ilmuwan Barat seperti Dr Graf Remafedi dari Universitas Minnesota AS. Hal yang sama dilakukan para ilmuan yang tergabung dalam The National Association for Research and Therapy of Homosexuality (NARTH).

Prof Dadang mengaku cukup sering menangani kasus-kasus homoseksual. Kebanyakan pasiennya mengidap homoseksual sebagai ikutan dari penyakit mental Skizofrenia. Oleh karenanya, keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh sejauhmana motivasi seorang penderita homoseksual. “Meski sulit, tak perlu putus asa. Nabi bersabda, setiap penyakit ada obatnya,” kata Guru Besar FKUI yang sudah menulis puluhan buku ini.
Metode terapinya, ujar Prof Dadang, meliputi terapi biologik (obat-obatan), psikologik (kejiwaan), sosial (adaptasi), dan spiritual (keagamaan, keimanan), yang disingkat menjadi terapi BPSS.

Namun, keberhasilan terapi juga bergantung pada kuat-lemahnya kadar homoseksual (100%, 75%, 50%, 25%), dan dukungan keluarga. Dia menambahkan, penderita juga harus dijauhkan dari materi-materi pornografi dan orang-orang homoseks.

“Jadi, organisasi homoseks harusnya tidak dibiarkan. Tapi, kita kalah dengan orang-orang yang selalu teriak HAM,” pungkas Prof Dadang

http://majalah.hidayatullah.com/2012/10/bisa-sembuh-asal-sungguh-sungguh/

08 Februari 2016

Buat apa?

Kita punya harapan, impian, cita2. Seringkali harapan yang paling sederhana (dan egosentris) adalah berharap punya uang banyak. Boleh jadi itu harapan kebanyakan orang, setidaknya di Indonesia. Terlepas dari salah atau benarnya punya harapan seperti itu, terbayang dialog imajiner kita dengan Tuhan yang akan mengajukan pertanyaan2 berikut ini seperti waktu kita minta uang dalam jumlah besar pada orangtua:
"Kamu butuh berapa, nak?"
"Untuk apa jumlah sebanyak itu?"
"Coba dipikir ulang itu keinginan atau kebutuhan.."
"Kamu yakin kamu akan digunakan untuk yang kamu butuhkan itu?"
"Kamu yakin tidak pakai untuk yang enggak2?"
"Kapan kamu butuhnya?"
"Apa gak bisa ditunda?"
"Apa gak bisa dengan cara lain?"
Dst..
Bukannya Tuhan tidak sanggup memberi, berapapun, kapanpu, dan kepada siapapun, tapi apakah kita punya tujuan yang benar dan baik dengan berkat yang akan kita terima, apakah kita siap mengelola dan mempertanggungjawabkan berkat yang kita terima?
Kalau kita minta berkat (dalam arti materi) yang berlimpah tapi kita tidak mau jadi saluran berkat, kalau kita minta kesehatan tapi tak mau melayani sesama, kalau kita meminta ketrampilan tertentu (bermain musik, public speaking, menjahit, memimpin, apapun) tapi hanya untuk diri sendiri, kita perlu memikirkan ulang apa yang kita minta pada Tuhan.

03 Februari 2016

Perpanjang STNK dan Ganti Plat No Mobil

Hari ini sama bokap ke Samsat Ciputat perpanjang STNK dan ganti plat no. Pergantian ini rutin tiap 5 tahun, kalo cuma bayar pajak STNK doang rutin tiap tahun. Dulu-dulu minta bantuan orang tapi sekarang dia udah pindah.
Kami berdua ngurus di Samsat Ciputat, lebih dekat daripada musti ke Polda Metro di Jl. Sudirman. Supaya gak tertunda, habis nganter Bhima sekolah langsung berangkat ke sana.
Sampai Samsat ternyata parkiran sudah penuh. Ada seorang Polisi yang ramah menjaga pintu dan menyapa, seperti Satpam di Bank. Berhubung dia pakai seragam Polisi, tentu kita menghormatinya beda dengan Satpam. Selain sopan, ternyata sangat informatif. "Untuk ganti plat, langsung ke belakang saja mas, cek fisik." Siap, pak.
Lalu mobil dibawa ke belakang, sambil menunggu fotokopi dulu. Beli map, lalu fotokopi STNK, KTP, lalu.... OMG!! Lupa bawa BPKB. "Pap, BPKB mana?" "Yah lupa, masih di SDB. Musti ambil kunci dulu di rumah." Wah, ribet. Akhirnya nekat aja tanya sama petugas cek fisik, bisa gak tanpa bawa BPKB? Surprisingly, dia jawab "Bisa!" Yessssss :)
Setelah urusan di belakang selesai, map dibawa ke dalam gedung.
Di lantai bawah, ada loket kita ambil Formulir blanko.
Lalu naik ke atas (lantai 2), masukin map yang hasil cek fisik. Oiya berhubung gak bawa BPKB, harus ke lantai 1 lagi untuk dicap checklist dan bayar Rp.25.000.
Setelah masukin berkas di lantai 2, kemudian tunggu dipanggil di loket kasir untuk bayar, lalu tunggu lagi di loket pengambilan STNK.
Setelah itu turun ke lantai 1 masukin STNK yang sudah jadi untuk diproses pembuatan plat no.
Tertulis maksimal 45 menit untuk 10 pasang. Tapi nyatanya bisa jadi cepat, hanya 15 menit.
Voila! STNK sudah diperpanjang dan plat no mobil baru.
Busetttt, kok plat barunya gede banget. Ini gambar perbandingannya:
Secara keseluruhan, sangat puas dengan pelayanan Samsat Ciputat dan Polisi yang ramah dan tidak adanya calo. Selamat untuk reformasi birokrasi di tubuh Polri. Ikut bangga!

Abadikan Kenangan di Sekolah Melalui Fotografi

Kenangan adalah bagian integral dari perjalanan pendidikan kita. Dari berbagi tawa dengan teman-teman sekelas, sampai penyelesaian studi dan...